pintu

PINTU
JUDUL : PINTU
PENGARANG : FIRA BASUKI
PENERBIT : GRASINDO – JAKARTA
TAHUN : 2004

Aku adalah si bayi kuning. Dalam istilah kedokteran, bayi yang terlahir kuning disebut bayi jaundice dan harus “dijemur” dibawah sinar matahari. Jika kuningnya tidak hilang juga dalam waktu seminggu maka si bayi harus telanjang bulat dan matanya ditutup untuk disinari dengan infra merah ditempat tidur khusus.
Yangti (Eyang Putri) berkata,”Ono bocah kok kelap-kelap kaya lintang,”(“Ada anak kok berkelap-kelip seperti bintang.”) Ya, percaya atau tidak, begitu selaput tipis yang menyelubungi tubuhku dirobek dokter, konon cahaya terang memenuhi ruang bersalin.
Entah, apakah benar aku titisan dewa. Ih, rasanya kalau aku percaya, kok tinggi hati sekali. Keluargaku sih percaya kalau Sunan Kalijaga, yang masih nenek moyangku itu menurunkan sifatnya padaku. Yangti adalah keturunan ketujuh dari pangeran santri, anak dari Sunan Kalijaga, yang bernama asli Raden Seca atau kemudian diganti nama oleh sunan ampel dengan sebutan Raden Said.
Konon, kabar kelahiranku telah diramalkan. Konon, jiwa Sunan Kalijaga akan menitis kembali, ke aku…. Tapi, ah, apa-apaan sih. Akku nggak merasa jadi titisan siapa-siapa. Lagi pula, katanya keluargaku beragama islam, yang sudah tentu tidak percaya reinkarnasi.
Aku lahir tahun 1968, dengan weton sabtu pahing, dan memiliki neptu Jawa tertinggi yaitu 18. Konon, ini tandanya aku bukan orang biasa. Contoh orang yang lahir dengan tanggalan jawa sepertiku adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Artinya, lahir dengan tanggal Jawa seperti ini nanatinya menjadi seorang pemimpin yang dipuja dan seorang pria yang disenangi. Anda percaya semua ini? Kalau ya, aduh, smoga aku tak takabur.
Aku juga si bayi fajar, lahir saat matahari berwarna merah siap menyapa dunia. Ini tanda kehidupan yang bagus, begitu kata orang-orang.
Yang aku ingat, di usiakku yang tiga tahun, aku ‘melihat sesuatu’ untuk pertama kalinya. Saat kami pindah ke rumah baru di Jakarta, aku melihat ada anak hitam kecil yang bertelanjang dada dan mengenakan popok dari daun pisangn menari-nari di atas atap. Inikah yang dinamakan indera keenam? Aku memang sering melihat jin, roh, hantu….atau apalah namanya.
Aku punya teman yang bernama Jeliteng, yang mengaku tinggal di rerimbunan pohon bambu dibelakang rumah kami, menemaniku hingga aku beranjak remaja, kira-kira umur 13 tahun. Saat itu aku mulai puber di bangku SMP itulah, si jeliteng pamit.
Aku kesepian tanpa si jeliteng. Aku tidak pernah punya tema dekat di sekolah. Oya, aku sekolah di SMP Pangudi Luhur Jakarta, sebuah sekolah katolik yang ketat. Banyak anak di sekolah itu mencemoohku dan menjulukiku dengan panggilan si Gila. Mungkinkah karena sekolah yang sebagian besar muridnya sibuk belajar itu menganggapku aneh? Atau, mungkinkan ini karena ulahku yang memang terlalu dan ekspresif dan suka-suka.
Sejak menanti kelahiran June di rumah sakit, aku sudah memberontak. Berteriak teriak menarik perhatian orang sambil berlari-lari mengejar angsa-angsa yang berkeliaran di panti bersalin Nirmala, Surabaya. Tidak ada yang mempedulikan diriku hingga tanganku terkena sosor angsa.
Ketika pertama kali mama memberi nama june kepada adikku, aku sedikit marah. Bayangkan, namaku Djati Suryo Wibowo Subagio, sedangkan nama lengkap adikku June Larasati Subagio. Namaku lebih panjang dan benar-benar berbau jawa.
Pernah, suatu ketika aku bermimpi bertemu seorang kakek berjenggot panjang yang menyuruhku untuk pergi ke arah timur. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Untungnya saat itu aku baru lulus SMA dan memiliki waktu luang cukup lumayan untuk sebuah perjalanan. Pergilah aku ke Surabaya dengan bus malam. Sampai disana pukul sembilan pagi, lalu aku berjalan mondar-mandir tanpa arah. Tentu saja aku sebenarnya tahu sedikit kota Surabaya, mengingat kami sekeluarga beberapa kali pernah ke sana. Bahkan june lahir di kota pahlawan ini.
Hari hampir senja, sebaiknya aku cepat-cepat menemukan tempat untuk istirahat. Dua kilometer kemudian, samara-samar kuliaht kawasan kuburan kuno ditengah-tengah perkebunan kembang kol. Kupercepat langkahku. Benar saja, sepertinya kuburan kuno. Ah, masa iya? Iya. Aku tidak salah. Aku lalu memutari kuburan dengan hanya sekitar sepuluh nisan. Kuburan apa ini? Atau tepatnya tempat peristirahatan siapa saja?
Percaya apa tidak, saat aku bangun hari sudah pagi. Sekelilingku berwarna jingga terang. Aku berdiri dan menengok. Oo… mana kuburan tadi! Ada apa ini? Mimpikah aku. Mana kebun sayur? Ke mana pohon-pohon? Kenapa sekelilingku kosong? Kenapa tanah dan langit berwarna jingga?
:Aaaaaa…!” teriakku frustasi.
Sampai akhirnya aku melongok ke belakang dan samara-samar melihat sebuah istana! Istana? Mirip rumah jawa atau joglo yang samara-samar dan bersinar. Tidak jelas, seperti kabut atau awan menutupi istana jawa tersebut. Istana di awing-awang? Apakah aku sudah ma…mati? Ah, tidak! Tidak!
Istana joglo itu mendadak seperti berjalan mendekat ke arahku. Lalu mendadak ada pintu gerbang dari kayu berdiri di depanku. Istana itu pun seperti sembunyi di baliknya.
Salmon Doyo nama kompletnya. Si Udel, atau pusar, adalah sebutan akrabnya karena terkadang pusarnya terlihat gara-gara perutnya yang gendut dan kaos belang-belang merah hitam khas maduranya terlampau kecil.Malam tadi, kira-kira pukul sebelas, sesudah udel menutup warung satenya, kami main catur. Tak berapa lama, Nico datang bersama empat orang anak buahnya. Tanpa ba bi bu, mereka mendobrak meja dan memporak- porandakan papan catur dan kemudian memukuli warumg sate udel dengan tongkat rotannya. Yang aku ingat, tiba-tiba saja kami berbaku hantam. Aku Cuma mengandalkan papan catur sebagai senjata. Aku tidak tahu nasib udel. Yang aku lihat niko lalu teriak,”mundur!”.
Padahal rencana semula, jika aku diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) aku hanya akan transfer kuliah setelah dua atau tiga tahun. Menurut orang tuaku, ada baiknya juga kalau aku memilih ke luar negeri secepatnya. Kini, keputusan papa-mama datang dengan cepat dan aku harus pergi dengan cepat pula.
Bo adalah nama panggilanku di Chicago. Lidah orang bule rata-rata susah untuk mengucapkan bowo, apalagi nama panjangku. Jadi mereka memanggilkun dengan panggilan bo. Aku sendiri tidak keberatan. Cuma lucu saja. Jadi ingan bo Derek.
June, adikku. Aku senang dia baik-baik saja dan bahkan mendapat pacar baru. Mudah-mudahan pria beernama Aji Saka itu benar-benar setia padanya. Soalnya, aku tidak bisa membayangkan jika june tidak memiliki teman atau pacar di pittsburg sana.
June datang ke amerika bulan juni 1990, begitu ia lulus SMA. Ia berkukuh ingin tinggal mandiri, karena itu ia menolak kuliah di Chicago denganku. Yang aneh, june justru memilih pittsburg.
Namanya Erna Damayanti, beribu jawa dan bapak sunda. Aku mengenalnya di pesta permias (persatuan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat). Dia setahun lebih tua dari aku. Kuliah di universitas yang sama, tetapi di jurusan ekonomi. Wajahnya bulat biasa, dihiasi beberapa jerawat. Rambutnya berpotongan bob sebahu. Badannya padat berisi dan cenderung montok. Pokoknya, dari sisi fisik Erna berbeda dengan tipe idealku. Erna juga tidak lemah lembut atau anggun seperti putri atau ceria dan ramai seperti Aida. Erna biasa saja, tidak ramai dan tidak pendiam. Pribadinya seperti datar, tidak ada yang meletup-letup terpancar dari dirinya. Namun, entah mengapa aku suka padanya.
Kami tinggal bersama. Aku keberatan jika disebut kumpul kebo, walaupun mungkin istilah itu memang umum digunakan untuk pria yang tinggal serumah dengan wanita tanpa adanya ikatan pernikahan. Ceritanya berawal dari menipisnya uang simpananku. Orang tuaku mendadak hanya mengirimkan uang sekadar untuk membayar iuran sekolah. Aku terpaksa kerja sambilan sebagai ahli pembantu di laboratorium computer. Tetap saja uang yang kudapat tidak mencukupi untuk membayar biaya sewa asrama. Di situlah Erna mengulurkan tangannya.
Satu, dua bulan dengan Erna berjalan biasa. Tapi memang setan senang dengan orang berlainan jenis yang menyendiri. Suatu malam aku melihat Erna melintas menuju dapur dengan hanya menggunakan kutang dan celana dalam. Entah memang begitulah pakaian tidurnya. Aku terbius bisikan setan dan mengikuti Erna kembali menuju kamarnya: mengikuti buah dadanya dan tubuh sensualnya. Sesudahnya adalah sejarah.
“Aku akan menikahimu secara resmi,” kataku bejanji.
“Kamu harus. Aku masih perawan saat itu,” ujar Erna dengan pandangan tajam.
“Kamu tidak menyukaiku ya? Aku bisa merasakan, ngaku saja!” sergahnya dengan suara tinggi.
“Aku menyukaimu,” jawabku pendek.
“Suka? Bukan cinta?”
Aku diam. Memang benar aku suka akan kebaikannya dan aku teertarik akan keramah-tamahannya padaku selama ini. Tapi rasa cinta tidak terselip. Rasanya tidak ada yang membludak, tidak seperti saat aku memikirkan putri.
Aku pun mengubur cerita kedua perempuan tadi. Aku juga tidak lagi bergaul dengan anak-anak Indonesia. Intinya, aku seperti bertapa. Sesekali saja aku datang menjenguk mas dadang dan mas eko, yang tiada hentinya bercerita masalah kehidupan sosial mereka dan juga gosip di sekitar keluarga mahasiswa Indonesia di Chicago.
Aku berhasil lulus sarjana di bidang computer. Jadi, kini aku harus menyimpan uang untuk meneruskan master, seperti impian mama. Oya aku juga membantu uang sekolah june setiap bulannya.
Penyucian diri disebut juga wewayangan putih. Ritual ini diperlukan oleh orang yang merasa berdosa dan bersalah serta memohon ampunana pada Tuhan, Gusti Allah. Aku menahan nafas Selama 3 menit ketika awan putih muncul. Hatiku serasa bersorak, bertanda permohonan maaf dan ampunanku diterima Gusti Allah.
Aku rasa aku telah menemukan seorang wanita yang bisa mendampingiku, ia bukan perempuan jawa. Kalau tidak, aku tidak akan menikahinya kemarin. Aku juga tidak akan menjabat ratusan tangan orang sekarang. Semoga aku juga pantas bersanding disebelahnya.

Tinggalkan komentar